Senin, Desember 14, 2015

Mari Berceloteh

Beberapa hari yang lalu aku membaca beberapa status di salah satu applikasi komunikasi berbasis chating (sok tau) yang namanya berarti garis atau deretan atau barisan atau apalah. Menurutku agak lucu juga. Jadi isi semua status itu kurang lebih sama, yaitu menyoroti perubahan masyarakat di Indonesia sebelum dan sesudah mereka keluar negeri. 

"Uuuh wow! dari luar negeri, bro, ngeri kali. Tau darimana, lu?" 

Iya lah, kan paragraf awalnya (iya paragraf, soalnya itu panjang banget) bilang kalau mereka baru pulang dari Australia, Inggris atau Amerika. "Wew banget kan!". Orang-orang tersebut disana untuk belajar, kuliah lagi, enggak kayak aku yang s1 disini aja susah tembusnya ("kamu malas sih"). Yah mereka di sana mungkin lebih dari setahun. Beberapa dari mereka mengaku mendapat kerja disana juga, atau biar lebih asik mereka mendapat cinta (inisiatif aku menyebut cinta disini). Makanya mereka lama di luar. Walaupun mereka di luar aku yakin mereka mengikuti perkembangan di Indonesia. Kan ada Internet.

Lalu di paragraph selanjutkan mereka bilang kurang lebih mereka kecewa, bingung, marah, emosi dan segalanya. Aku bingung, aku marah, aku emosi, aku kecewek… (iyah Kecewek daripada kecowok!). Begitulah ungkapan hati mereka. Mereka merasa seperti itu karena perubahan masyarakat yang tidak sesuai harapan mereka. Yah aku dapat mengerti betapa mereka kecewa karena harapan mereka untuk melihat masyarakat yang cerdas tidak terpenuhi (bukan berarti saya bilang masyarakat kita bodoh yah J ).

Yah kawan-kawan, kalian lama di luar negeri lalu kalian mengkritik kami (aku juga kan bagian masyarakat). Aku yang s1 di dalam negeri enggak lulus-lulus dan bercita-cita ingin bersekolah keluar negeri (amin) harus bersabar dengan perubahan ini. Kalian juga kan bagian dari masyarakat, dan kalian mempunyai kapasitas untuk merubah masyarakat. Masyarakat kita bakal lebih percaya pada kalian yang mempunyai pengalaman pernah belajar diluar. Daripada kalian mengoceh di media sosial (seperti yang saya lakukan sekarang).

Aku sih cuma mau bilang, perubahan itu pasti terjadi entah itu ke arah mana. Selama kalian di luar negeri mungkin kalian tidak akan merasakan perubahan tersebut. Bukan berarti kalian saja yang kecewa. Banyak kok yang tinggal dalam negeri yang lebih kecewa dari kalian. Beginilah adanya. Jadi intinya sih, mari bersama-sama kita ubah arah perubahan ini ke arah yang positif.

“Sok bijak lah, kamu. Kayak udah pinter ajah”

Iya aku emang bukan orang penting. Aku mengaku anak S1 tapi tulisannya masih kayak anak SMA. Mari kita berceloteh aja. Jangan saling menghina. Karena belum tentu kita lebih baik dari yang kita hina(cieeeee, kiwwww).
Doakan saya cepat lulus.

Dengan hormat;
Logika Anbiya, belum lulus S1.

Selasa, Maret 17, 2015

Senin, 8 Desember 2014



Beberapa hari ini aku dekat dengan Tiara. Kami sering mengobrol dan pergi bersama. Sangat menyenangkan bersama dengan dia. Siang tadi sepulang kuliah dia bilang kalau malam sebelumnya dia mendeklarasikan perpisahannya dengan pacarnya. Entahlah, dia bilang pacarnya sudah tidak peduli dengan dia, buktinya dia jalan denganku saja pacarnya tidak marah. Atau sebenarnya marah tapi pacarnya tidak berani denganku? Mungkin, mungkin, dan mungkin.
Tepat pukul 10 menit ke 24 34 detik pagi tadi aku melihat sesosok bidadari melintas didepanku. Apa ini surga? Apa dia seorang putri raja? Apakah dia itu Dewi Aprodhite? Apakah dia itu? Cantik sekali, dan baunya wangi sekali. Seperti baunya tidak lepas dari indra penciumanku. Sepertinya dia itu juniorku di kampus karena aku lihat dia masuk ke kelas junior. Mungkinkah?
Ada satu kabar juga yang sedikit membuatku terkejut. Perempuan itu, perempuan yang menuruti perkataan “sahabatnya” untuk berpisah denganku sudah mempunyai pasangan baru. Dalam benakku aku mengutuk “dasar pelacur!” tapi aku sadar, dia hanya korban dari kebodohannya sendiri. Mungkin dia akan menyesalinya nanti. Mungkin?
Kembali pada dewi Aprodhite (sepertinya begitu aku akan memanggilnya), dia tidak hilang dari benak. Dia terus muncul setiap aku menutup mata. Dia ada selalu di setiap bayangan yang aku lihat di kamar? Aku ini menggambarkan dewi apa hantu? Akupun tak tahu? Hantu mungkin, hantu yang kulihat tapi jika kalian melihatnya kalian akan tahu apa yang aku rasakan.
Dewi Aprodhite ini memakai rok panjang polos berwarna hijau muda (aku tidak tahu gradasi warna) dan memakai pakaian yang aku tidak tahu apa namanya berwarna putih. Cantik sekali.
Semoga dia ada didalam mimpi malam ini. Selamat malam.

Senin, Maret 16, 2015

Rabu, 3 Desember 2014



Siang itu aku pergi kerumah perempuan itu. Aku sudah memutuskannya. Aku tahu apa yang akan aku pilih. Siang itu aku sampai di rumahnya. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. Aku tahu apa yang akan aku katakan. Siang itu…..
Kami akhirnya berbicara. Sebelumnya, aku ingat malam itu tiba-tiba dia tidak ingin berbicara denganku. Sebelumnya, dari pagi sampai sore dia sampai di rumah “sahabatnya” itu kami tertawa. Sepertinya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sahabat yang menjadi musuh dalam selimut. Sahabat yang berubah menjadi penyihir yang memanipulasi perasaan. Apakah yang dia benar-benar sahabat yang memang pantas untuk disebut sahabat. Apakah itu sahabat? Apakah sahabat adalah orang yang tidak mencampuri kehidupan pribadi dan mendukung apapun keputusan sahabatnya? Atau sahabat adalah orang yang mencampuri kehidupan pribadi dan melarang setiap keputusan sahabatnya? Apakah itu sahabat?
Pikirku sahabat akan meminta kesetiaan yang tulus dan mendukung apapun yang sahabatnya putuskan. Sahabat tidak akan meminta jiwa sabagai imbalan untuk apa yang dia lakukan pada dan mengatur hidup sahabatnya. Itu hanya gambaran seorang sahabat yang ada dalam benakku.
Siang itu, perempuan ini meminta untuk berpisah denganku. Aku tahu ini keinginan sahabatnya. Perempuan ini tidak punya keberanian untuk menolak permintaan sahabatnya. Aku sudah tahu dari pertama kali dia tidak ingin menghubungiku lagi. Dia bilang aku menjanjikan matahari dan bulan tapi yang aku beri hanya batu dan pasir. Dia bilang aku menjanjikan lautan tapi yang aku beri hanya setetes air asin. Siang itu kami berpisah. Siang itu kami tidak lagi sepasang burung merpati. Siang itu aku menjadi seekor merpati yang bebas. Siang itu dia bilang dia tidak lagi terkurung.
Siang itu aku muntahkan sekitar 300 burung kertas yang aku buat beberapa hari lalu. Aku lihat matanya menunjukan ekspresi menyesal. Aku pulang dengan perasaan tertahan. Ekspresiku dingin. Tapi hatiku panas. Aku kecewa. Setelah sekian lama kami bersama, inilah akhirnya.
Sore itu aku menyampaikan semua kekecewaanku pada Tiara. Entah kenapa, tapi sepertinya mengobrol dengan Tiara akan menyenangkan. Benar saja menyenangkan mengobrol dengan dia. Tanpa sadar aku mengatakan “Ramen di tempat kemarin enak juga. Bagaimana kalau kita pergi kesana lagi kapan-kapan?” dan dia bilang “Bagaimana kalau besok sepulang kuliah?” Aku pikir kami sudah membuat janji kencan. Iyakah?

Jumat, Desember 12, 2014

The Wall

I hate myself than you do
You don’t know me
So don’t judge me
You’re more annoying than me
Don’t believe what other said about me
They are not me
I don’t like myself either
Please leave me alone if you come only to hurt me
I’m an egomaniac bastard

The wall has been built

Selasa, 2 Desember 2014

Besok! Ya besok akan ada yang terjadi. Sesuatu akan terjadi. Apakah aku akan memilihnya atau aku akan melepaskannya. Aku harus memutuskannya sekarang atau tidak sama sekali. Tapi memutuskan sesuatu itu membuat pikiran jadi lelah. Jika sedang lelah jadi tidak bisa berpikir. Jika sudah tidak bisa berpikir otak tidak bisa jalan. Jika otak tidak bisa jalan perut langsung menuntut haknya. Aku harus makan agar keputusanku sahih!
Aku makan sendiri ke tempat makan mie rebus jepang atau biasa disebut mie ramen. Ini adalah tempat baru. Biasanya aku makan ramen di jalan simpang. Tempat aku biasa makan ramen dengan perempuan itu. Tapi sekarang tidak biasa. Di ujung meja itu, aku melihat seorang perempuan lain yang bermuka familiar. Aku tahu siapa perempuan itu. Perempuan itu dari kelas sebelah. Namanya kalau tidak salah adalah Tiara.
Aku menyapa dia. Aku berbasa-basi “sendiri aja?” dia menjawab “iya sendiri, sama siapa lagi.” Daripada aku makan sendiri, dia makan sendiri, aku memutuskan untuk untuk makan dengan perempuan ini. Kita sebut saja perempuan ini dengan nama Tiara.
Kami mengobrol lama. Aku tidak tahu kalau Tiara bisa nyambung mengobrol denganku. Kami mengobrol ini itu dari hal sepele sampai hal paling geje. Sampai akhirnya Tiara mulai menceritakan tentang kenapa dia bisa berada di tempat makan itu sendirian. Dia memberi tahu kalau dia sedang dilanda musibah asmara. Karena dia menceritakan pengalamannya, aku juga jadi menceritakan apa yang aku alami sekarang.
Sepulang dari tempat makan aku mengajak Tiara untuk menemaniku membeli suatu barang. Dengan iming-iming es krim green tea dia mau.

Aku kembali pulang. Di kamar aku melihat ada tumpukan burung kertas. Di pinggir tumpukan itu ada buku diary ini. Aku tulis hari ini sebagai pengingat. Besok adalah penentuan. Selamat malam.