Siang itu aku pergi kerumah perempuan itu. Aku sudah
memutuskannya. Aku tahu apa yang akan aku pilih. Siang itu aku sampai di
rumahnya. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. Aku tahu apa yang akan aku
katakan. Siang itu…..
Kami akhirnya berbicara. Sebelumnya, aku ingat malam
itu tiba-tiba dia tidak ingin berbicara denganku. Sebelumnya, dari pagi sampai
sore dia sampai di rumah “sahabatnya” itu kami tertawa. Sepertinya aku tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Sahabat yang menjadi musuh dalam selimut. Sahabat yang
berubah menjadi penyihir yang memanipulasi perasaan. Apakah yang dia
benar-benar sahabat yang memang pantas untuk disebut sahabat. Apakah itu
sahabat? Apakah sahabat adalah orang yang tidak mencampuri kehidupan pribadi
dan mendukung apapun keputusan sahabatnya? Atau sahabat adalah orang yang
mencampuri kehidupan pribadi dan melarang setiap keputusan sahabatnya? Apakah
itu sahabat?
Pikirku sahabat akan meminta kesetiaan yang tulus dan mendukung
apapun yang sahabatnya putuskan. Sahabat tidak akan meminta jiwa sabagai
imbalan untuk apa yang dia lakukan pada dan mengatur hidup sahabatnya. Itu
hanya gambaran seorang sahabat yang ada dalam benakku.
Siang itu, perempuan ini meminta untuk berpisah denganku.
Aku tahu ini keinginan sahabatnya. Perempuan ini tidak punya keberanian untuk
menolak permintaan sahabatnya. Aku sudah tahu dari pertama kali dia tidak ingin
menghubungiku lagi. Dia bilang aku menjanjikan matahari dan bulan tapi yang aku
beri hanya batu dan pasir. Dia bilang aku menjanjikan lautan tapi yang aku beri
hanya setetes air asin. Siang itu kami berpisah. Siang itu kami tidak lagi
sepasang burung merpati. Siang itu aku menjadi seekor merpati yang bebas. Siang
itu dia bilang dia tidak lagi terkurung.
Siang itu aku muntahkan sekitar 300 burung kertas yang
aku buat beberapa hari lalu. Aku lihat matanya menunjukan ekspresi menyesal.
Aku pulang dengan perasaan tertahan. Ekspresiku dingin. Tapi hatiku panas. Aku
kecewa. Setelah sekian lama kami bersama, inilah akhirnya.
Sore itu aku menyampaikan semua kekecewaanku pada
Tiara. Entah kenapa, tapi sepertinya mengobrol dengan Tiara akan menyenangkan. Benar
saja menyenangkan mengobrol dengan dia. Tanpa sadar aku mengatakan “Ramen di
tempat kemarin enak juga. Bagaimana kalau kita pergi kesana lagi kapan-kapan?”
dan dia bilang “Bagaimana kalau besok sepulang kuliah?” Aku pikir kami sudah
membuat janji kencan. Iyakah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar