Senin, Maret 16, 2015

Rabu, 3 Desember 2014



Siang itu aku pergi kerumah perempuan itu. Aku sudah memutuskannya. Aku tahu apa yang akan aku pilih. Siang itu aku sampai di rumahnya. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. Aku tahu apa yang akan aku katakan. Siang itu…..
Kami akhirnya berbicara. Sebelumnya, aku ingat malam itu tiba-tiba dia tidak ingin berbicara denganku. Sebelumnya, dari pagi sampai sore dia sampai di rumah “sahabatnya” itu kami tertawa. Sepertinya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sahabat yang menjadi musuh dalam selimut. Sahabat yang berubah menjadi penyihir yang memanipulasi perasaan. Apakah yang dia benar-benar sahabat yang memang pantas untuk disebut sahabat. Apakah itu sahabat? Apakah sahabat adalah orang yang tidak mencampuri kehidupan pribadi dan mendukung apapun keputusan sahabatnya? Atau sahabat adalah orang yang mencampuri kehidupan pribadi dan melarang setiap keputusan sahabatnya? Apakah itu sahabat?
Pikirku sahabat akan meminta kesetiaan yang tulus dan mendukung apapun yang sahabatnya putuskan. Sahabat tidak akan meminta jiwa sabagai imbalan untuk apa yang dia lakukan pada dan mengatur hidup sahabatnya. Itu hanya gambaran seorang sahabat yang ada dalam benakku.
Siang itu, perempuan ini meminta untuk berpisah denganku. Aku tahu ini keinginan sahabatnya. Perempuan ini tidak punya keberanian untuk menolak permintaan sahabatnya. Aku sudah tahu dari pertama kali dia tidak ingin menghubungiku lagi. Dia bilang aku menjanjikan matahari dan bulan tapi yang aku beri hanya batu dan pasir. Dia bilang aku menjanjikan lautan tapi yang aku beri hanya setetes air asin. Siang itu kami berpisah. Siang itu kami tidak lagi sepasang burung merpati. Siang itu aku menjadi seekor merpati yang bebas. Siang itu dia bilang dia tidak lagi terkurung.
Siang itu aku muntahkan sekitar 300 burung kertas yang aku buat beberapa hari lalu. Aku lihat matanya menunjukan ekspresi menyesal. Aku pulang dengan perasaan tertahan. Ekspresiku dingin. Tapi hatiku panas. Aku kecewa. Setelah sekian lama kami bersama, inilah akhirnya.
Sore itu aku menyampaikan semua kekecewaanku pada Tiara. Entah kenapa, tapi sepertinya mengobrol dengan Tiara akan menyenangkan. Benar saja menyenangkan mengobrol dengan dia. Tanpa sadar aku mengatakan “Ramen di tempat kemarin enak juga. Bagaimana kalau kita pergi kesana lagi kapan-kapan?” dan dia bilang “Bagaimana kalau besok sepulang kuliah?” Aku pikir kami sudah membuat janji kencan. Iyakah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar